Herman Deru Disebut ‘King Of Kelakar’ Pengamat: UTP Jadi Alat Politik Siapa?

Grahanusantara.co.id, Palembang – Pengamat politik Sumatera Selatan (Sumsel), Muhammad Arief menilai julukan “King of Kelakar” yang disematkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Tridinanti Palembang (UTP) kepada Gubernur dinilai bukan sebagai kritik apalagi masukan yang konstruktif tapi lebih jadi alat politik kelompok politik tertentu untuk kepentingan menjatuhkan nama baik kepala daerah.

Bahkan hal tersebut dipandang sebagai gerakan mengekor, ikut-ikutan, ingin dibilang keren meniru BEM dari universitas ternama di tingkat nasional yang memberi julukan pada presiden. Padahal track record gerakan mahasiswa di universitas tersebut nyaris tak ditemukan baik melalui googling ataupun kisah tutur dari para aktivis di Sumsel.

Lebih jauh, meme yang dibuat oleh mereka yang mengaku sebagai utusan resmi BEM UTP itu tidak nyambung. Hal itu menunjukan mereka tidak menguasai materi, tidak membaca isunya secara detail dan asal saja alias asbun. Banyak logical fallacy dalam meme yang disebut sebagai dasar menjuluki gubernur sebagai King of Kelakar.

“Saya kira sebagai kelompok akademisi tentu paham dan sering mendengar istilah logical fallacy. Nah ini contoh kasus nyata dari logical fallacy itu, cara berlogika yang menyesatkan alias gak nyambung gitu lho. Premis dan kesimpulannya gak nyambung,” ungkapnya kepada awak media Jumat (30/07).

Arief menjelaskan sejumlah tuduhan yang disematkan oleh BEM Universitas Tridinanti tersebut yang menurutnya bukti logical fallacy. Pertama terkait usulan Herman Deru merubah istilah PPKM Darurat menjadi PPKM Level 1-4.

“Ya itu usulan dan saran yang tepat. Seorang kepala daerah mengusulkan kepada Presiden lantaran penggunaan istilah Darurat memberikan kesan menakutkan di masyarakat. Itu sangat tepat. Kalau kemudian di Sumsel ada 4 daerah yang diputuskan penerintah pusat masuk dalam kategori PPKM Level 4, lalu dimana nyambungnya tuduhan BEM UTP itu? Justru anak-anak itu harusnya bangga bahwa masukan gubernur mereka didengar presiden sehingga sebutan PPKM darurat ditiadakan dan diganti dengan pelevelan. Bahwa ada empat daerah, salah satunya Kabupaten Muba yang dipimpin Dodi Alex Noerdin masuk ke PPKM level 4, ya itu harus diurus. Kepala daerah setempat harus bekerja keras bagaimana menurunkan levelnya,” ujarnya.

Kemudian terkait inisiatif Gubernur Herman Deru membantu kebutuhan oksigen untuk wilayah lain seperti Jawa Barat dan Lampung. BEM UTP malah nyinyir menyudutkan Herman Deru sebagai pemimpin yang pandai berkelakar dengan membantu wilayah lain sementara kebutuhan oksigen di Sumsel kekurangan.
Padahal sangat jelas dinyatakan bahwa kebutuhan oksigen di Sumsel cukup. Bahkan segera dibuat tempat pengisian oksigen gratis.

“Ini anak yang bikin meme gak paham dan literasinya rendah. Masa membantu wilayah lain yang membutuhkan disalahkan. Mereka membangun persepsi publik bahwa oksigen di Sumsel sedang langka. Lalu menuduh Herman Deru cuma berkelakar biar rakyat tenang. Padahal yang disampaikan Manajer penunjang medis RS Hermina itu soal pendistribusian bukan soal stok oksigen,” jelasnya lagi.

Lalu terkait data kemiskinan yang berhasil turun ditengah pandemi. Pihaknya menegaskan bahwa data tersebut adalah dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel. Tidak masuk logika antara penurunan kemiskinan dengan kebijakan ganjil genap dan PPKM di Sumsel.

“Apa coba hubungannya antara kemiskinan yang turun dengan kebijakan ganjil genap dan PPKM. Logika mereka dimana? Kebijakan penerapan ganjip genap di wilayah PPKM level 4 itu untuk mengurangi mobilitas mengantisipasi agar varian delta yang sangat cepat daya tular dan sebarnya bisa dihindari. Penerapan kebijakan model begini terjadi dimana-mana, itu ikhtiyar untuk menyelamatkan rakyat” ujarnya.

Lalu kritik di sektor pendidikan. BEM UTP menyebut kebijakan sekolah gratis di Sumsel tidakberjalan karena ada sekolah yang memungut biaya. Arief mempertanyakan kesimpulan yang diambil mereka yang hanya berdasar satu kasus. Faktanya di lapangan siswa tetap menikmati sekolah gratis, tidak dipungut biaya apapun.

“Saat ada kasus, dimana pihak sekolah meminta uang bangunan saya kira perlu dibaca konteksnya. Secara umum sekolah gratis di Sumsel itu janji Herman Deru yang dituangkan dalam kebijakan. Kalau ada sekolah secara inisiatif meminta sumbangan sukarela, apakah itu salah Gubernur, ya tidak lah. Dan sekolah itu sudah ditegur,” katanya lagi.

Terkahir terkait sempat terjadi perbedaan larangan mudik antara pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, sebagai kepala daerah, tentu Herman Deru lebih memahami bagaimana kondisi masyarakat di daerahnya. Kalau timbul kesan ada perbedaan antara pusat dan daerah, jelas pemerintah daerah lebih paham kebutuhan masyarakat.

“Ini kan soal gaya komunikasi saja sebenernya. Ini yang mengkritik tidak membaca kapan itu kebijakan muncul. Padahal keputusan akhirnya sangat jelas, Gubernur ikut keputusan pemerintah pusat,” jelasnya.

Arief menduga ada pihak yang menyetir mahasiswa untuk melakukan kritik terhadap kepemimpinan Gubernur Herman Deru. Apalagi jika dilihat rekam jejak kampus tersebut terbukti dekat dengan salah satu kekuatan politik tertentu di Sumsel.

“Saya kira sangat disayangkan, kalau gerakan mahasiswa di salah satu kamous di Sumsel jadi alat politik pihak tertentu. Harusnya mahasiswa sebagai kelompok muda terdidik bisa memberikan peran sosialnya di masyarakat. Apalagi kondisi sedang pandemi, jangan mau dijadikan alat politik untuk ambisi kekuasaan pihak manapun,” pungkasnya.

Arief mempertanyakan bagaimana sikap para mahasiswa itu terhadap kasus korupsi dana hibah, korupsi wisma atlit dan korupsi masjid Sriwijaya. Menurutnya tidak ada rekam jejak yang menunjukan mereka peduli dengan kasus korupsi itu. Padahal dalam sidang pengadilan kemarin cukup jelas jaksa membacakan bahea mantan Gubenur Alex Noerdin menerima dana sebesar 2,4 milyar. “Bagaimana BEM UTP menilai kasus korupsi ini? Kita menunggu sikap kritis mereka,” pungkasnya.