APBN Defisit, BUMN Jadi Parasit?

Grahanusantara.co.id, Jakarta – Pemerintah menetapkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 fokus pada pemenuhan penanganan dampak pandemi coronavirus disease 2019 (Covid)-19.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, menyampaikan, seluruh APBN difokuskan untuk mengurusi tekanan berat dampak pandemi Covid-19, sehingga masyarakat dan pengusaha bisa mulai melakukan pemulihan ekonomi.

Defisit APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kian melebar. Saat ini, diperkirakan berada di angka 6,34% atau sekitar Rp1.039, 2 triliun. Sri Mulyani dalam pemberitaan di laman djkn beberapa hari lalu menyampaikan bahwa pemerintah menganggarkan Rp121,73 sebagai dukungan tambahan untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 12 Badan Usaha Milik Negera (BUMN).

Direktur Kajian Indonesian Of Social Political Institute (ISPI), Deni Iskandar, Selasa (29/6), kepada wartawan, megatakan, pihaknya menyoroti anggaran APBN yang diberikan pemerintah pusat kepada Kementerian BUMN di tengah defisit APBN.

Menurutnya, salah satu sebab defisit karena postur APBN Tahun 2020 yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2020 dialihkan untuk pembiayaan Covid-19.

“[Sementara] pembiayaan pemerintah pusat untuk pemulihan ekonomi nasional, salah satunya untuk pembiayaan Kementerian BUMN,” ujarnya.

Menurut Deni, anggaran pembiayaan untuk pemerintah pusat dari APBN tahun 2020 tersebut, tidak mesti diberikan untuk Kementerian BUMN. Sebab, fungsi BUMN merupakan suatu Badan Usaha Negara yang seharusnya menopang perekonomian nasional seperti diamanatkan oleh UU.

“Bila melihat postur APBN kita hari ini, saya merasa aneh dengan BUMN di bawah kepemimpinan Erich Thohir yang tidak maksimal dalam menopang laju pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.

Menurut Deni, BUMN ini fungsinya sebagai lembaga perusahaan negara, seharusnya memberikan deviden kepada negara agar APBN tidak merosot dan defisit. “Ini justru terbalik, aneh saya,” kata Deni.