Press ESC to close

Bolehkah Mengambil Barang di Lokasi Bencana? Ini Jawaban Hukumnya!

Ketika bencana terjadi, keadaan darurat sering kali memaksa orang untuk bertindak di luar kebiasaan. Rumah dan toko yang ditinggalkan pemiliknya menjadi sasaran pencarian makanan, air, atau barang lain yang dianggap penting untuk bertahan hidup. 

Namun, secara hukum, mengambil barang tanpa izin tetap memiliki konsekuensi serius. Jadi, apakah tindakan ini bisa dibenarkan?

Hukum Pidana: Mengambil Barang di Lokasi Bencana adalah Pencurian

Dalam hukum Indonesia, tidak ada pengecualian bagi pencurian dalam situasi bencana. 

Justru, KUHP memperberat hukuman bagi mereka yang mengambil barang milik orang lain dalam kondisi darurat.

Pasal 363 KUHP menyebutkan bahwa pencurian yang dilakukan dalam keadaan bencana—seperti kebakaran, banjir, gempa bumi, atau kejadian luar biasa lainnya—diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Chairul Huda, pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), menegaskan bahwa mengambil barang milik orang lain tanpa izin, termasuk makanan, tetap dikategorikan sebagai pencurian. 

Jika dilakukan dalam kondisi bencana, pelaku dapat dikenakan ancaman pidana dengan pemberatan.

Artinya, meskipun seseorang mengambil barang untuk bertahan hidup, tetap ada risiko dikenakan sanksi pidana.

Sudut Pandang Islam: Kapan Darurat Bisa Membolehkan?

Dalam hukum Islam, terdapat prinsip bahwa kondisi darurat dapat mengubah hukum tertentu. Namun, ini tidak berarti semua tindakan dalam keadaan darurat menjadi sah.

Dalam artikel NU Online dijelaskan bahwa jika barang yang diambil bersifat mudah rusak atau cepat basi, maka menyelamatkannya dari pemborosan bisa dibenarkan dengan syarat tetap mengembalikan atau menggantinya kepada pemilik jika memungkinkan.

Sebaliknya, barang yang memiliki daya tahan lama, seperti beras atau barang elektronik, tetap tidak boleh diambil sembarangan. 

Dalam artikel yang sama disebutkan bahwa jika barang tersebut dapat bertahan dalam jangka waktu lama, maka mengambilnya tanpa izin adalah haram dan disamakan dengan pencurian atau penjarahan.

Dengan kata lain, Islam memberikan sedikit kelonggaran dalam kondisi darurat, tetapi tetap mengutamakan hak kepemilikan dan keadilan.

Mengapa Penjarahan di Lokasi Bencana Tetap Terjadi?

Meski hukum tegas melarang, praktik penjarahan dalam situasi bencana tetap sering terjadi. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama:

  1. Keterlambatan Bantuan – Ketika bantuan logistik tidak segera tiba, masyarakat terdorong untuk mencari sumber daya sendiri, termasuk mengambil barang dari toko atau gudang yang ditinggalkan.
  2. Kurangnya Pengawasan – Dalam situasi kacau, aparat keamanan sering kali kesulitan mengendalikan massa, sehingga penjarahan lebih mudah terjadi.
  3. Motif Keuntungan Pribadi – Tidak semua orang yang mengambil barang di lokasi bencana melakukannya karena terpaksa. Ada juga pihak yang memanfaatkan situasi untuk mencuri barang berharga.

Jadi, Harusnya Bagaimana?

Secara hukum, mengambil barang di lokasi bencana tetap dianggap sebagai pencurian, bahkan dengan ancaman hukuman lebih berat. 

Sementara dalam perspektif Islam, ada pengecualian dalam kondisi tertentu, tetapi tetap harus memperhatikan hak kepemilikan.

Solusi terbaik adalah memastikan distribusi bantuan yang cepat dan merata agar masyarakat tidak perlu mengambil risiko melanggar hukum. 

Jika memang dalam keadaan sangat mendesak, sebaiknya berkoordinasi dengan pihak berwenang agar tindakan yang diambil tetap berada dalam koridor hukum dan etika.

Bencana bukan hanya ujian fisik, tetapi juga ujian moral dan hukum. Pilihan ada di tangan kita: mengikuti hukum dan etika, atau menghadapi konsekuensi di kemudian hari.***

Graha Nusantara

Graha Nusantara adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *