Jakarta - Pemerintah didesak untuk mengambil alih PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, menyusul krisis keuangan yang membuat ribuan pekerja kehilangan pekerjaan.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (4/3/2025), sejumlah anggota dewan menilai negara harus hadir dalam menyelamatkan industri sandang nasional.
“Apakah mau investor swasta atau mau dibikinkan BUMN, apakah mau pakai Danantara, tapi yang pasti negara harus hadir dalam konteks industri sandang,” tegas anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKB, Zainul Munasichin.
Dorongan ini muncul karena Sritex, yang selama bertahun-tahun menjadi andalan industri tekstil nasional, kini menghadapi ancaman kebangkrutan dengan utang mencapai lebih dari Rp25 triliun.
Selain itu, lebih dari 12 ribu pekerja telah kehilangan pekerjaan akibat efisiensi perusahaan.
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah pengambilalihan oleh negara akan menyelamatkan industri, atau justru menambah beban keuangan pemerintah?
Pentingnya Peran Negara dalam Industri Strategis
Sebagai salah satu pemain utama dalam industri tekstil Indonesia, Sritex memiliki dampak luas terhadap perekonomian, mulai dari penyediaan lapangan kerja hingga kontribusi ekspor.
Oleh karena itu, beberapa pihak berpendapat bahwa penyelamatan perusahaan ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga menjaga keberlanjutan industri strategis.
Menurut Zainul Munasichin, langkah pengambilalihan Sritex sejalan dengan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Jika Sritex dikelola oleh pemerintah, stabilitas industri sandang bisa lebih terjamin.
Selain itu, DPR juga mendorong pembentukan posko khusus yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan. Posko ini bertujuan untuk memastikan hak-hak pekerja yang terkena PHK dapat segera terpenuhi.
"Posko ini memang fokus untuk membantu agar hak-hak pekerja dapat terpenuhi," ujar Zainul.
Risiko Beban Keuangan bagi Negara
Namun, di sisi lain, mengambil alih perusahaan dengan utang yang begitu besar tentu bukan keputusan yang bisa diambil tanpa perhitungan matang.
Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, mengingatkan bahwa setiap upaya penyelamatan harus dilakukan dengan pendekatan yang transparan, akuntabel, dan realistis, mengingat potensi dampaknya terhadap keuangan negara.
“Jika BUMN ditugaskan untuk menyelamatkan Sritex, maka harus ada perhitungan matang agar tidak membebani neraca keuangan perusahaan pelat merah yang sudah ada,” kata Herman.
Kekhawatiran ini beralasan. Banyak kasus di mana perusahaan yang diambil alih negara justru mengalami kinerja yang semakin menurun akibat birokrasi yang tidak fleksibel serta manajemen yang kurang efisien.
Jika Sritex diambil alih tanpa strategi yang jelas, bukan tidak mungkin industri tekstil nasional justru semakin terpuruk.
Solusi Alternatif: Rekonstruksi dan Kemitraan Swasta
Alih-alih langsung mengambil alih kepemilikan, beberapa pihak menyarankan solusi lain yang lebih efektif, seperti rekonstruksi utang atau kerja sama dengan investor swasta nasional yang tetap menjaga kepentingan negara.
Dengan pendekatan ini, pemerintah tetap bisa mengendalikan industri strategis tanpa harus menanggung seluruh beban keuangan perusahaan.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, juga menegaskan bahwa pemerintah harus lebih fokus pada penyelamatan tenaga kerja yang terdampak, bukan hanya sekadar menyelamatkan perusahaan.
“Pemerintah harus memastikan regulasi dan fasilitas yang menjamin para pekerja Sritex agar tidak semakin terpuruk,” ujarnya.
Kesimpulan: Negara Harus Hadir, tetapi dengan Strategi yang Tepat
Krisis yang dialami Sritex memang membutuhkan respons cepat dari pemerintah.
Namun, keputusan untuk mengambil alih perusahaan harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, serta dampaknya terhadap BUMN yang akan ditugaskan.
Jika dilakukan dengan perencanaan yang matang, pengambilalihan ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat industri tekstil nasional.
Namun, jika dilakukan tanpa strategi yang jelas, langkah ini bisa menjadi beban baru yang justru memperburuk kondisi ekonomi negara.
Pada akhirnya, negara memang harus hadir dalam menyelesaikan krisis ini. Namun, kehadiran tersebut tidak selalu harus berbentuk pengambilalihan penuh, melainkan bisa dalam bentuk solusi yang lebih fleksibel dan menguntungkan semua pihak.
Bagaimana menurut Anda? Haruskah pemerintah benar-benar mengambil alih Sritex, atau ada opsi lain yang lebih ideal? Berikaan pandangan Anda dikolom kementar.
***