Jakarta - Rapat Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin berlangsung panas. Para anggota dewan mempertanyakan transparansi Kejaksaan Agung dalam menangani kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret nama mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. Penetapan tersangka yang dinilai terburu-buru menjadi sorotan utama.
Dalam forum tertutup tersebut, anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra, Muhammad Rahul, menekankan bahwa konstruksi hukum dalam kasus ini harus dijelaskan secara gamblang. "Kalau konstruksi hukumnya tidak jelas, maka akan timbul persepsi bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menggunakan hukum sebagai alat politik," ujarnya.
Senada dengan itu, Nasir Djamil dari Fraksi PKS menyoroti bahwa beberapa Menteri Perdagangan sebelumnya juga melakukan impor gula, tetapi tidak diproses hukum. Ia mempertanyakan alasan di balik penahanan mendadak terhadap Tom Lembong. "Kami khawatir ini mencederai citra Presiden Prabowo yang ingin menegakkan hukum secara adil," kata Nasir.
Hinca Pandjaitan dari Fraksi Demokrat juga mengangkat kekhawatiran bahwa penangkapan ini bisa dianggap sebagai bentuk balas dendam politik. "Di masyarakat berkembang dugaan bahwa ini ada unsur politis. Jaksa Agung harus menjelaskan agar tidak timbul persepsi negatif," tegasnya.
Namun, Komisi III memastikan bahwa mereka tidak akan membentuk panitia kerja (panja) khusus untuk mendalami kasus ini. "Kami lebih memilih mengadakan rapat khusus dengan Kejaksaan Agung untuk membahas berbagai kasus yang menjadi perhatian publik," ungkap Rudianto Lallo dari Fraksi NasDem.
Kasus dugaan korupsi impor gula ini bermula ketika Kejaksaan Agung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka atas kebijakan impor gula saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan periode 2015-2016. Padahal, saat itu Indonesia mengalami surplus gula. Kejaksaan Agung menilai bahwa impor gula kristal mentah yang dilakukan seharusnya hanya boleh dilakukan oleh BUMN, tetapi malah diizinkan untuk dilakukan oleh PT AP tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian.
Beberapa perusahaan gula swasta yang terlibat dalam pengolahan gula kristal mentah ini di antaranya PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI. Modusnya, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal sebenarnya gula itu dijual langsung ke masyarakat dengan harga di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Kejaksaan Agung memperkirakan kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp400 miliar.
Menanggapi berbagai pertanyaan dari anggota DPR, Kejaksaan Agung menegaskan bahwa penanganan kasus ini dilakukan secara profesional dan tanpa intervensi politik. Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan bahwa penyidikan berjalan berdasarkan bukti hukum yang kuat dan tidak ada unsur kepentingan tertentu dalam penetapan tersangka.
Sementara itu, anggota Komisi III Benny K Harman mendesak agar Kejaksaan Agung bersikap transparan dalam menangani kasus ini. "Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi agar tidak ada kesan tebang pilih, balas dendam politik, atau penegakan hukum yang dijalankan atas dorongan pihak tertentu," tandasnya.
Dengan berbagai dinamika yang muncul dalam rapat ini, publik kini menanti kejelasan lebih lanjut mengenai langkah Kejaksaan Agung dalam menuntaskan kasus korupsi impor gula ini. Kejelasan hukum yang transparan dan adil menjadi kunci agar kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum tetap terjaga.
(*)