Jakarta – Elon Musk kembali memicu kontroversi. Kali ini, pendiri Tesla dan SpaceX itu secara terbuka menyatakan dukungannya agar Amerika Serikat (AS) menarik diri dari dua organisasi internasional penting, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Pernyataan ini disampaikan melalui platform media sosial X (sebelumnya Twitter) pada Sabtu malam.
Saat merespons unggahan influencer politik konservatif, Gunther Eagleman, yang menyatakan, "Sudah saatnya keluar dari NATO dan PBB," Musk hanya menanggapi singkat, "Saya setuju."
Meskipun pernyataan itu terkesan ringkas, implikasinya sangat besar, mengingat pengaruh Musk di dunia bisnis, teknologi, dan bahkan politik global.
Pernyataan Musk muncul di tengah meningkatnya perdebatan di AS tentang peran negara itu dalam organisasi internasional.
Sejumlah tokoh konservatif, termasuk Senator Mike Lee dari Utah, telah lama mengkritik PBB, menyebutnya sebagai "platform bagi tiran dan tempat untuk menyerang Amerika dan sekutunya."
Bahkan, beberapa anggota parlemen telah mengusulkan undang-undang untuk menarik AS dari PBB, dengan alasan bahwa organisasi tersebut lebih sering menjadi beban daripada aset strategis.
Di sisi lain, NATO juga menghadapi tekanan. Presiden Donald Trump selama masa jabatannya kerap mengkritik aliansi tersebut, menuduh negara-negara Eropa tidak memberikan kontribusi finansial yang seimbang.
Menurutnya, NATO lebih banyak bergantung pada kekuatan militer AS, sementara sekutu-sekutu lainnya enggan meningkatkan anggaran pertahanan mereka.
Ketegangan dalam aliansi ini semakin terlihat setelah pemasok bahan bakar Norwegia, Haltbakk Bunkers, mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi memasok bahan bakar bagi Angkatan Laut AS.
Langkah ini merupakan bentuk protes terhadap kebijakan Trump terhadap Ukraina, khususnya hubungannya dengan Presiden Volodymyr Zelensky.
Meski pemerintah Norwegia kemudian menegaskan komitmennya terhadap NATO, insiden ini menyoroti potensi retaknya solidaritas di dalam aliansi pertahanan tersebut.
Namun, apakah pernyataan Musk ini mencerminkan kebijakan resmi pemerintah AS? Hingga kini, belum ada respons resmi dari Gedung Putih. Meskipun begitu, isu penarikan AS dari NATO bukanlah hal baru.
Pada 2023, Senator Marco Rubio memimpin pengesahan undang-undang yang menetapkan bahwa keputusan untuk keluar dari NATO hanya bisa dilakukan dengan persetujuan dua pertiga Senat atau melalui tindakan terpisah dari Kongres.
Hal ini menunjukkan bahwa keputusan semacam itu tidak dapat diambil secara sepihak oleh presiden.
Dukungan Musk terhadap gagasan ini tentu menambah kompleksitas perdebatan. Sebagai tokoh yang memiliki hubungan erat dengan pemerintahan dan kepentingan strategis di sektor teknologi dan luar angkasa, pandangannya dapat memperkuat narasi kelompok konservatif yang menginginkan kebijakan luar negeri AS yang lebih terisolasi.
Di tengah dinamika global yang semakin menantang, pertanyaan yang muncul adalah: apakah AS benar-benar akan meninggalkan NATO dan PBB? Ataukah pernyataan Musk hanya akan menjadi pemantik diskusi tanpa dampak kebijakan nyata?
(*)